Bahasa dalam perspektif kehidupan
Kembali lagi saya ulas topik tentang bahasa. Khusus pada
letak pembahasan bahasa Arab dan Bahasa Inggris. Dalam aspek kehidupan tentu
setidaknya kita mempunyai dua sisi bahasa yang dipakai. Yaitu bahasa Ibu dan
bahasa Nasional. Paling tidak itu yang secara natural orang-orang disekeliling
mempunyai dimensi bahasa yang amat populer.
Hari ini saya dikampus dipertemukan oleh Prof. Bakri Ahmad
bin Muhammad Al-Suddany. Beliau berasal dari Sudan. Pakar dalam ‘Applied
Linguistics’ atau linguistik terapan. Saat bertemu dengan beliau mula-mula
diberilah saya berbagai pertanyaan mendasar tentang studi kasus penggunaan
bahasa Asing di Indonesia. Ini buka soal kualitas bahasa itu sendiri. Akan
tetapi lebih kepada penggunaan, penyerapan, dan cara menikmatinya.
Mengapa bahasa Inggris lebih populer dari pada bahasa Arab di
Indonesia ?
Ini adalah pertanyaan awal yang disampaikan oleh Prof. Bakri.
Pertanyaan ini juga membuat saya untuk berpikir ulang bahwa masalah penggunaan
bahasa di Indonesia memang lebih kepada penggunaan bahasa Inggris.
“..Karena bahasa Inggris adalah bahasa Internasional yang
sangat populer di dunia..” jawaban sementara saya kepada Prof. Bakri.
“Lantas apakah bahasa Arab bukan bagian dari bahasa
Internasional..? kurang lebih ada sekitar 22 negara Arab di dunia..” Jawab
Prof. Bakri.
Sejenak saya berpikir. Beliau lebih banyak menggunakan bahasa
Arab saat berkomunikasi. Dikarenakan saya termasuk yang masih lemah dalam hal speaking,
belaiu sesekali memakai bahasa Inggris dan Indonesia untuk mempermudah pemahaman
saya.
“Saya tidak tahu Prof. Justru ini adalah bentuk kegelisahan
saya dalam memaknai pembelajaran bahasa”. Jawabku kepada Prof. Bakri dengan
penasaran menunggu respon beliau tentang pertanyaan mendasar ini.
Kemudian beliau bertanya lagi. Apa yang menjadi poin utama
saat kamu mendengar bahasa Arab atau belajar bahasa Arab ?
“Agama Prof.” Spontan terjawab.
“Betul !. pemahaman masyarakat Indonesia yang mayoritas
penduduknya muslim lebih memaknai bahasa Arab sebagai bahasa Agama. Maka saat
itulah bahasa itu akan mati.”
“Maksudnya Prof.?” Tanyaku.
Prof. Bakri mulai bercerita tentang dirinya. Begini, saya
sudah lama sekali tinggal di Indonesia. Sejak tahun 80-an sampai sekarang ini
2019. Saya pernah bekerja sebagai penerjemah di Timor-timor (sekarang Timor Leste).
Disana saya bekerja di PPB menjadi penerjemah dari bahasa Inggris ke bahasa
Indonesia. Berhubung saya berasal dari negara yang native speaker nya
Arabic.
Maka saya pun mampu menerjemahkan bahasa Indonesia ke bahasa Inggris
maupun bahasa Arab begitupun sebaliknya. Saya bekerja di PBB selama 4 tahun.
Kemudian pada tahun 1991 saya diminta mengajar di UIN Sunan Gunung Djati
Bandung menjadi dosen bahasa Arab. Selain tugas struktural, saya mempunyai
tugas lain seperti penerjemah dan lain sebagainya hingga akhirnya kemudian saya
mengajar di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Selama kurang lebih 20 tahun di Indonesia, saya mulai
memahami bahasa Indonesia secara umum. Dalam artian bahasa yang tidak baku.
Manfaatnya sekarang saya bisa berinteraksi dengan orang Indonesia dengan bahasa
yang sederhana dan mudah dipahami. Selain itu, saya melihat negara ini
mayoritas muslim nomer satu dunia. Tetapi mereka lebih memilih bahasa Inggris
untuk dipelajari. Dan saya merasa harus memperjuangkan bahasa Arab agar mereka
tahu bahasa Arab bukan hanya saja untuk bahasa agama. Tetapi lebih kepada
bahasa komunikasi.
“Lantas apa jawaban pertanyaan pertama Prof.?” Saya kembali
bertanya.
Bahasa Arab di Indonesia secara fakta 80% dipahami sebagai
bahasa agama. Jika pemahaman nya demikian maka bahasa itu akan mati. Bukan mati
struktur bahasa nya. Tetapi mati dalam penggunaannya. Tak hidup sama sekali.
Kenapa bahasa Arab tidak berkembang di Indonesia, karena bahasa Arab hanya
dipahami sebagai untuk pembelajaran Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Begitupun dengan bahasa Inggris. Jika hanya dimaknai dalam
konteks pendidikan, maka bahasa Inggris hanya akan berhenti pada konteks
tersebut. Tidak berkembang sama sekali. Nyatanya bahasa Inggris di Indonesia
lebih kepada produk pemasaran. Artinya jika seseorang mempunyai nilai lebih
dalam berbahasa Inggris, maka ia akan mendapatkan nilai plus dalam bidang
pendidikan, pekerjaan, professi, dan lain sebagainya.
Untuk itu, saat belajar memahami bahasa apapun, jangan sampai
terbatas pada satu ranah saja. Semisal bahasa Arab hanya untuk memahami
Al-Qur’an dan Al-Hadits, hanya untuk memahami kitab-kitab Arab klasik.
Rangkulah bahasa yang kamu pelajari menjadi bagian dari kehidupanmu. Niscaya
kamu akan lebih akrab dengan siapapun, lebih enjoy dan percaya diri dalam mengekspresikan
kehidupan tanpa harus mengesampingkan bahasa prioritas. Yaitu bahasa ibu dan
bahasa persatuan.
Dari pejelasan Prof. Bakri, saya tersentuh kenapa saya tidak
pernah pandai dalam mengoperasikan bahasa Asing. Iru karena saya belajar bahasa
hanya sebagai kebutuhan saja. Saat tidak butuh, tidak begitu penting, mindset
saya mulai beralih kepada hal lain.
Pertemuan singkat yang tidak lebih dari satu jam. Sedikit
tapi berkualitas. Bagaimana dengan pendapatmu ? tentu ada perspektif
masing-masing ya. Setidaknya penjelasan ini bersanad langsung dari Prof. Bakri
sebagai ahli linguistik terapan bahasa Inggris dan Arab.
***
Posting Komentar untuk "Bahasa dalam perspektif kehidupan"