Keraguan di Hari Jum'at
Hari besar Islam dan hari keagungan
Islam yang tidak hanya sebagai simbol. Akan tetapi lebih kepada kultural budaya
khususnya di masyarakat Indonesia. Seperti biasa pada hari Jum’at mayoritas
sebagian orang-orang disekeliling saya terdoktrin bahwa hari ini adalah hari
yang paling sedikit dan sempit sekali waktunya. Alasan utamanya karena semua
umat Islam kaum Adam akan menunaikan sholat Jum’at di Masjid.
Padahal jika kita pikir-pikir
kembali, waktu melaksanakan sholat Jum’at sebenarnya tidaklah lama. Mungkin
hanya setengah jam saja. Atau paling lambat dan lama satu jam selesai. Tapi
rasanya waktu itu seolah-olah menunjukkan hampir petang. Saya biasanya kalau
sedang tidak ada jam kantor bisa berangkat lebih awal. Kira-kira pukul 11.30
WIB. Kalau pas lagi ngantor mungkin cukup telat bisa hampir jam 12.00 WIB atau
waktu adzan dimulai. Sederhana saja alasan utamanya karena pukul 11.20 WIB baru
selesai kelas dan belum persiapan diri untuk ke masjid dan lain-lain.
Itulah mengapa orang-orang menganggap
bahwa hari Jum’at adalah waktu yang sangat singkat. Sehingga agenda kegiatan
yang sudah dirumuskan pun ikut terkena imbasnya. Contoh sederhana, agenda
kegiatan dimulai pagi pukul 07.00 – 11.30 WIB. Realisasi yang terjadi pukul
11.00 WIB sudah selesai. Nah ini baru masalah manajemen waktu yang sifatnya
baru secara umum belum sampai pada tahap penyesuaian personal atau diri
sendiri.
Hmm.. sebenarnya ini adalah hal yang
lumrah dan terjadi tidak hanya pada satu lingkungan dan tempat saja. Tapi sudah
menjadi kultural dimana-mana. Sebagain mereka mengatakan ini adalah ciri khas.
Tapi tidak semuanya ya. Bagaimanapun itu. Sholat fardu tetaplah wajib hukum
nya. Terlebih untuk sholat Jum’at bagi kaum Adam.
Jum’at Wage. Jum’at ini adalah jadwal
dimana saya diminta untuk mengisi khutbah Jum’at di salah satu Masjid di
Yogyakarta. Tidak hanya sekali. Tetapi setiap Jum’at wage dalam setiap bulannya
itu saya harus bersiap-siap menjadi badal khutbah apabila petugas berhalangan.
So, saya disini hanyalah sebagai badal yang terjadwal pada hari Jum’at Wage. Ya
walaupun kadang saya juga diminta untuk mengisi khutbah tanpa harus menjadi
badal khutbah.
Jum’at Wage di bulan September kali
ini mendapatkan atmosfer yang berbeda. Dimana saya sudah tahu bahwa hari itu
adalah jadwal saya untuk maju kedepan. Tepat malam Jum’at saya menyiapkan teks
materi khutbah tentang “Keagungan dan Kemulyaan Bulan Muharram”. Karena
kebetulan pada bulan ini adalah bulan awal muharram jatuh. Tepatnya pada hari
ke-7 Muharram.
Setelah disiapkan semua, malam itu teks naskah saya endapkan
sejenak agar tidak begitu stress mikir besok kesiapan mental bagaimana. Wajar.
Saya adalah orang pemula masalah beginian. Selain memikirkan naskah khutbah,
saya juga memikirkan bagaimana kesiapan mental saat maju kedepan menyampaikan
khutbah dan dilihat serta didengarkan banyak orang.
Datanglah hari Jum’at. pagi setelah
selesai sholat subuh saya buka kembali teks khutbah dengan ditemani segelas
susu hangat beserta cemilan roti yang ikut serta menyimak latihan khutbah saya.
Nada demi nada, alunan intonasi dari setiap paragraf kini saya cermati perlahan
satu per satu sampai melekat. Tujuannya agar tidak bingung dan down saat
didepan nanti.
Pukul 07.00 WIB pagi seperti biasa saya harus kekantor lebih
awal. Tidak hanya hari Jum’at saja. Namun setiap hari dari Senin sampai Sabtu.
Karena kebetulan waktu-waktu tersebut menjadi tanggung jawa saya untuk selalu
hadir tepat waktu dan selalu ada dikantor.
Jum’at Wage. Jum’at ini sengaja
kuniatkan untuk pulang lebih awal yaitu pukul 11.00 WIB. Waktu dimana kegiatan
jam belajar mengajar belum selesai. Namun saya izin terlbih dahulu dengan
alasan untuk menyiapkan khutbah di masjid sebelah. Saya pun pulang lebih awal.
Suasanapun masih nampak pagi.
Meskipun perasaan saya ini memang sudah siang.
Akhirnya saya pun berangkat ke masjid lebih awal dengan kesiapan yang mantap
dan mengucap “bismilah” kaki inipun beranjak pergi menuju masjid. Saya memilih
shaf salat barisan kedua agar nanti saat maju tidak terlalu jauh. Selain itu
shaf pertama biasanya ditempati oleh para sesepuh dan tokoh masyarakat seperti
kyai, ustadz, dan lain-lain.
Sebenarnya sah-sah saja jika harus
menempati shaf awal. Dan itu tidak ada larangan dari pihak pengurus ataupun orang
lain. Bahkan kalau ikut syariat, justru itu lebih baik bukan ?. ya tentu lebih
baik. Ilmu memang penting. Akhlak jauh lebih penting. Karena inilah saya lebih
melihat akhlak terlebih dahulu dari pada ilmu. Dimana-mana pasti yang pertama
kali diajarkan adalah akhlak terlebih dahulu. Bahkan attitude ini pantas
mendapat predikat urutan nomor satu.
Mungkin terlalu tinggi untuk
dipahami. Sederhananya sungkan, kurang baik, dan kurang sopan kepada tokoh atau
kaum muslim yang lebih tua. Karena saya termasuk orang Jawa. Jadi ini tergolong
kepada tatakrama yang harus dipahami saat bermasyarakat langsung dengan orang
lain. Baik yang sudah dikenal maupun belum dikenal.
Bilal pun mengumandangkan adzan
sampai akhirnya saya harus maju naik mimbar dan disinilah saya mulai perform.
Awalnya sedikit deg-degan. Intonasi dan getaran saya mulai berubah seperti
orang nervous. Ya mungkin ini yang namanya nervous. Sambil tarik nafas dan
terus kujalani membaca teks khutbah, rasa gemetar itu mulai hilang. Kubaca
perlahan dan kunikmati saja aliran lantunan suara yang kuucapkan sendiri
didepan publik.
Karena sedikit minder, konsentrasi
saya mulai buyar dan ambyar diatas mimbar. Pikiran mulai kosong sedang waktu
masih saja berhenti mendiam. Terpaku tanpa pergerakan. Pikiranku mulai
melayang-melayang. Tidak fokus pada teks naskah yang sudah saya siapkan secara
matang. Saya bingung, audienspun diam terpaku. Menunggu saya untuk agar segera
melanjutkan khutbah.
Saya pun bingung
paragaraf manalagi yang harus saya lanjutkan. Seolah-olah materi ini sangat
sempit sekali. Padahal saya sudah menyiapkan sebanyak 4 lembar dengan kertas
ukuran F4 font 11. Ini artinya sudah sangat banyak sekali. Saat saya latihan
membaca bisa selesai kurang lebih 20 menit.
Dengan keadaan yang serba minder dan
bungung ini.
Saya memutuskan untuk mengakhiri khutbah saya dengan segera. Terkejut
! ternyata khutbah pertama saya hanya 8 menit saja!. Sangat singkat sekali
seperti kultum. Perasaan saya mulai tidak enak. Saya merasa gagal total. Saya
merasa malu. Asin pahit campur jadi satu. Intonasi saya mulai tidak enak
didengar dan rasa gemetar mulai muncul kembali.
Khutbah kedua dimulai. Tetap tenang
dan positif thinking. Saya baca pelan-pelan hingga akhirnya selesai. Jam tangan
saya menunjukka pukul 12.14 menit. Itu arrtinya saya khutbah hanya 13 menit
saja. Sangat cepat sekali. Lanjut iqomah dan saya juga menjadi Imam disana.
Sampai selesai menunaikan sholat, hati saya belum tenang sama sekali. Itu
artinya saya masih sangat merasa bersalah. Sangat bersalah. Mulai beranjak kaki
ini menuju asrama.
Sesampainya merenung, diam, dan tak bisa berkata-kata.
Sebagian dari teman-teman saya mulai sindir-menyindir lewat media sosial via
status. Saya lihat saya baca rasanya tambah sakit. Saya merasa seperti tidak
berguna sama sekali. Hanya menjadi seorang yang memalukan. Sangat memalukan.
Sungguh hari yang sedih, dihari Jum’at Wage.
***
Posting Komentar untuk "Keraguan di Hari Jum'at"